“Seperti kutu loncat, itulah kami. Ke mana nasib membawa ke sanalah kami pergi.”
Ershita (35 th) dan Eko (35 th) awalnya hanya menginginkan hidup yang sederhana di kota kecil. Namun, kehidupan menerbangkan mereka keliling dunia seperti kutu loncat. Bagaimana petualangan mereka di negeri orang bersama si kecil Johanna (33 bulan). Simak cerita keluarga kecil yang kini tinggal di Strasbourg, Prancis, ini.
Cerita kami berawal dari 15 tahun yang, di tahun pertama menuntut ilmu di UGM. Sahabat yang menjadi teman dekat. Latar belakang kami yang berasal dari keluarga sederhana mendorong kami untuk mencoba mandiri bersama. Eko, di sela-sela kuliah, memberikan les untuk anak SMA, sedangkan saya sangat bersyukur mendapat beasiswa dari Jepang. Tidak pernah kami berani bermimpi untuk bisa meneruskan sekolah di luar negeri apalagi sampai tinggal di sana. Setelah lulus pun, kami sudah cukup bahagia menjadi guru SMA di kota kecil Muntilan, Jawa Tengah.
Tahun 2005, Eko mendapat kesempatan untuk melanjutkan kuliah S2 dan S3 nya di Korea Selatan. Kesempatan yang sangat luar biasa buatnya saat itu dan kami sepakat bahwa Eko berangkat. Saya sadar studinya membutuhkan waktu 5 tahun. Hubungan jarak jauh kami jalani selama 2 tahun, dan kami menikah tahun 2006. Selama itu, saya juga mencari beasiswa untuk bisa melanjutkan studi Korea Selatan. Dan sungguh beruntung, karena saya mendapatkannya di universitas yang sama dengan suami. Dari saat itulah petualangan kami sebagai pasangan yang benar-benar mandiri di luar Indonesia dimulai.
Sebagai mahasiswa sains di Korea Selatan, kami berdua sangat sibuk. Kami bekerja di laboratorium mulai Senin hingga Sabtu, dari pukul 9 pagi dan sampai rumah sekitar tengah malam. Kami menyebut pengalaman kami di Korea Selatan sebagai masa pacaran kedua. Di akhir minggu biasa kami pergi untuk sekedar jalan-jalan, kami benar-benar menikmati waktu berdua. Usia kami sudah 29 tahun saat itu. Teman-teman kami pada umumnya sudah pekerjaan tetap, menikah dan memiliki seorang anak. Pertanyaan datang dari teman atau saudara dan tak terhitung jumlahnya. “Kapan nih mau punya momongan?” Kami cuma tersenyum dan menjawab, “Belum sempat”. Kegalauan kami mengenai mempunyai anak sebenarnya juga dikarenakan masa depan yang belum jelas. Ringkas cerita kami memutuskan untuk menunda untuk mempunyai anak.
Setelah lulus, kami pun tidak segera kembali ke Indonesia karena kami mendapatkan pekerjaan di kota yang sama hingga Eko ditawari untuk menjadi peneliti postdoktoral di Jerman. Kami sadar bahwa pekerjaan postdoktoral bukanlah pekerjaan tetap. Kehidupan ke depan akan masih penuh tantangan. Membangun keluarga tidak akan mudah ketika kami masih harus berpindah-pindah. Namun, ini adalah pilihan kami.
Setelah Eko pindah ke Muenster, kota kecil cantik di utara Jerman sedangkan saya masih harus menyelesaikan pekerjaan saya di Korea Selatan. Hubungan jarak jauh kembali kami jalani. Saya sempat mengunjungi Eko saat saya mengambil cuti dan melihat bagaimana kehidupan di Jerman. Di sana, rupanya orang masih mempunyai waktu luang untuk keluarga dan saya menyukainya. Saya memutuskan untuk melepaskan pekerjaan saya dan menyusul pindah ke Jerman dan menjadi ibu rumah tangga. Mengingat usia kami 32 tahun pada saat itu dan kami berpikir ini sudah waktunya untuk membangun keluarga yang seutuhnya.
Karena kehamilannya sudah terencana, ketika saya melihat hasil tes positif, kami tidak terkejut. Bahagia itu sudah pasti tapi kata clueless itu yang paling kuat. Apakah kami nanti bisa menjadi orang tua yang baik bagi si anak? Bagaimana caranya mengurus bayi? Di manakah kami akan tinggal menetap? Kami hanya bermodal nekat saja. Kami percaya seiring berjalannya waktu solusi pasti akan muncul menjawab semua permasalahan.
Selama kehamilan, kami cek kehamilan ke dokter dan kunjungan dari doula (bidan) rutin dilakukan setiap bulan. Melihat hasil USG, merasakan gerakan dan tendangan kaki mungil di perut adalah hal yang paling mengesankan. Tidak sabar rasanya sampai hari melahirkan.
Karena hari perkiraan kelahiran saya ternyata di sekitar hari ulang tahun pernikahan kami, jadi dipilihlah tanggal tersebut. Sebagai ibu saya belum pernah merasakan bagaimana sakitnya ketika kontraksi saat akan melahirkan. Hari itu hanyalah seperti hari yang normal. Pagi bangun, mandi, dan berangkatlah kami ke rumah sakit. Pukul 08:05 lahirlah Johanna Ersta, perempuan sesuai harapan. Hadiah ulang tahun pernikahan yang paling spesial.
Mengurus Johanna di awal masa pertumbuhannya tidak terlalu susah. Dia bayi yang cukup tenang, bahkan tak jarang kami mendapatinya tertidur pulas sepanjang malam. Saya mengurus Johanna terutama di siang hari, dan suami mengambil alih sebagian besar pekerjaan mengurus bayi di malam hari. Di akhir minggu kami biasa membawanya untuk berjalan-jalan di tengah kota atau sekedar menghirup udara segar di taman dekat rumah. Tidak adanya keluarga atau baby sitter yang membantu kami dalam mengurus Johanna membuat kami harus selalu ada 24 jam penuh dalam sehari untuk Johanna. Dari yang clueless kami belajar menjadi orang tua seiring berjalannya waktu.
Hidup kami secara total berubah. Sebelumnya kegiatan favorit kami seperti jalan-jalan, bersepeda, atau pergi makan malam di restoran berdua tiba-tiba tidaklah sesederhana seperti sebelumnya. Kini untuk pergi saja kami butuh persiapan sedikitnya 2 jam. Dari mempersiapkan diri sendiri, anak, bekal susu dan makanan. Itu pun selalu masih saja ada yang terlupa. Kehidupan sebagai orang tua benar-benar berbeda. Kami bersyukur karena kami sudah merasa puas menjalani kehidupan kami berdua. Sempat melanjutkan studi, berkarir, dan bebas jalan-jalan berdua saja. Kini kami hidup untuk Johanna. Hari yang sibuk, capek, ataupun sedih karena jauh dari keluarga besar saat itu tidak terlalu kami rasakan. Johanna selalu berhasil mengakhiri hari dengan suka.
Saat usia Johanna 6 bulan, kami harus pindah ke Strasbourg, Perancis. Tempat saat ini kami tinggal. Kami sendiri belum tahu untuk berapa lama kami harus tinggal di negara ini, dan mau ke mana lagi kami setelah ini. Kami tidak berbicara Prancis, kami hanya bisa berbicara Inggris. Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa adalah bahasa keseharian kami di rumah. Namun, masa depan yang belum jelas di depan kami membuat kami berpikir bahwa Johanna harus dipersiapkan dengan bahasa yang paling tidak bisa membuatnya berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Akhirnya, bahasa Inggrislah yang menjadi pilihan utama. Menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama akan memberikan kemampuan dasar bagi Johanna untuk bisa berkomunikasi di negara manapun dia akan tinggal di kemudian hari. Sekolah internasional selalu bisa menjadi pilihan di negara manapun. Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua.
Banyak orang mempertanyakan keputusan kami menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama percakapan Johanna, “Orang Indonesia kok nggak bisa bahasa Indonesia”. Bahkan kadang sayapun kembali mempertanyakan keputusan kami. Tetapi keraguan itu berkurang ketika sudah waktunya Johanna untuk bersekolah. Sekolah internasional di mana Johanna mendaftar mensyaratkan anak yang akan bersekolah untuk menguasai kemampuan dasar berbahasa Inggris. Kami lega. Paling tidak Johanna sudah memenuhi persyaratan tersebut dan memberikannya peluang yang lebih besar untuk bisa diterima di sekolah tersebut.
Yang sangat menyenangkan dari kehidupan di sini adalah banyaknya ruang publik dan ruang hijau yang bisa dijadikan tempat untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Ketika Johanna belum bisa berjalan kami selalu keluar jalan-jalan dengan menggunakan stroller ke pusat kota atau bila musim sedang hangat dan cuaca mendukung kami piknik di taman kota. Taman kota biasanya dilengkapi dengan tempat bermain anak-anak di mana Johana bisa bersosialisasi dengan teman sebayanya.
Ada kalanya ketika ada akhir Minggu yang panjang kami pergi ke luar kota atau ke Jerman. Kebetulan Strasbourg berada di perbatasan antara Perancis dan Jerman. Kebun binatang, taman dan museum merupakan pilihan favorit kami. Ada kalanya kami bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berada di Strasbourg untuk sekedar bisa ngobrol dan mengobati rasa kangen Indonesia.
Ketika Johanna berumur 2 tahun kami membelikan sepeda keseimbangan (balance bike). Sepeda ini unik dan kami baru melihatnya di Eropa. Sepeda ini tidak berpedal. Sepeda ini hanya digunakan untuk melatih anak untuk mengolah otot dan koordinasi tubuh ketika kelak bersepeda, terutama ketika si anak masih terlalu kecil untuk mengendarai sepeda yang sesungguhnya. Johanna sangat senang dan cukup cepat dalam menguasainya. Jadilah kami menghabiskan sore atau akhir minggu mengejar-ngejar anak yang naik sepeda di pinggir jalan. Bulan lalu, akhirnya kami bisa bersepeda bersama karena Johanna sudah cukup umur untuk duduk di kursi belakang sepeda.
Saat ini kami hanya memikirkan apa yang terbaik buat Johanna. Kami sebagai orang tua hanya ingin Johanna tumbuh menjadi anak yang bahagia. Bukan berarti dimanjakan tetapi kami ingin bisa memfasilitasi bakat apapun yang berkembang darinya. Seperti orang tua yang lain pada umumnya, harapan kami hanya untuk bisa menjadi orang tua yang baik untuk anak kami apapun yang terjadi, tidak peduli di manapun kami akan menetap nanti. Kini kami berdua berproses bersama untuk itu. Wish us luck ^^