Kebutuhan gizi anak Indonesia belum terpenuhi seutuhnya. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) nasional 2013 menyatakan hanya 38% anak mendapat ASI eksklusif dan hanya 37% anak usia 6-23 bulan mendapat makanan pendamping ASI yang memadai. Hal ini mempengaruhi tumbuh kembang anak selama 1000 hari pertama kehidupan – sejak di dalam kandungan hingga usia dua tahun. Ketidakcukupan gizi menyebabkan 37% atau sekitar 8,9 juta anak balita Indonesia pendek (stunting) dan 12% – sekitar 3,3 juta – anak balita kurus (wasting) dibandingkan dengan standar rata-rata.
Kondisi ini berpengaruh pada menurunnya produktivitas mereka setelah dewasa dan berpotensi menjadi beban pembangunan di masa mendatang. Diperlukan intervensi tepat sasaran untuk memperbaiki kondisi gizi anak Indonesia. Demikian pernyataan organisasi kemanusiaan Wahana Visi Indonesia dalam gerakan Aksi Gizi di Monas, Minggu, 10 Mei 2015.
“Asupan gizi ibu hamil, pemberian ASI, dan makanan pendamping ASI yang memadai merupakan salah satu hak dasar kesehatan anak, namun banyak sekali tantangan di Indonesia yang membuat ibu hamil dan bayi bawah dua tahun tidak bisa mengakses gizi terbaik,” ujar Grace Hukom, Ketua Yayasan Wahana Visi Indonesia.
Kualitas gizi yang didapat terutama selama 1000 hari pertama kehidupan seorang anak akan menentukan kualitas hidup ribuan hari berikutnya. Perawakan pendek dan kurus pada anak merupakan indikator kurang gizi yang menghambat pertumbuhan maksimal seseorang. Anak yang pendek dan kurus akan kesulitan menyerap pelajaran di sekolah, produktivitas mereka cenderung rendah pada usia kerja dan risiko terkena penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, semakin meningkat.