Bukik: Beginilah rasanya jadi bapak, jadi orang tua …

Bukik Setiawan (@Bukik) kami kenal sebagai penggiat pendidikan yang aktif dalam berbagai inisiatif pendidikan seperti Bincang Edukasi dan Indonesia Bercerita. Mas Bukik, kami biasa menyapanya demikian, adalah bapak dari Ayunda Damai dan suami dari Wiwin Hendriani. Selain mengembangkan forum Suara Anak, ia juga menulis buku “Anak Bukan Kertas Kosong”, ulasannya dapat dilihat di sini. Kali ini di #FamilyStory, kami mengajak Mas Bukik bercerita tentang refleksinya sebagai Bapak, juga tentang impiannya.
Apa yang paling diingat saat anak lahir?
Jadi waktu hamil tua, istri di Wlingi sementara saya di kontrakan Surabaya karena masih harus menjalankan kewajiban sebagai dosen. Setiap jumat sore, saya ke Wlingi. Senin jam 3 pagi, naik bis pertama kembali ke Surabaya. Pada saat menjelang kelahiran, saya pagi hari baru saja sampai Surabaya, sorenya, mendapat kabar kalau sudah ada tanda-tanda melahirkan. Saya pun langsung meluncur ke Wlingi dan tiba sekitar jam 8 malam.
Malam itu juga kami ke klinik kecil dekat rumah mertua. Saya menemani istri yang kesakitan sepanjang malam, bergantian dengan ibu mertua. Sampai pagi menjelang, istri belum juga dipindah ke ruang persalinan hingga ada rencana untuk melahirkan melalui bedah cesar. Ketika menunggu ambulans yang akan membawa istri ke rumah sakit, saya menunggu di luar ruangan. Perkembangan begitu cepat, istri belum sempat dipindahkan justru sudah melahirkan putri kami.
Ketika dipanggil dan diantar oleh suster ke ruangan anak kami, saya masuk dengan penuh takjub. Setengah gentar setengah bangga kemudian mengumandangkan adzan di telinga anak. Saya panjatkan doa sederhana, “Jadi anak baik, ya”. Namanya, Ayunda Damai Fatmarani
Gimana masa-masa awal kelahiran anak? Apa yang paling menantang dan apa yang paling terkenang-kenang?
Mungkin bukan masa awal kelahiran ya, tapi masa-masa awal setelah anak lahir. Ada beberapa momen yang paling menantang.
Sesuai jatah cuti istri, istri dan anak masih di Wlingi. Saya pun masih nglaju Surabaya-Wlingi. Damai, waktu bayi, tangisannya keras sekali sehingga ketika direkam dan disimpan di telepon genggam sangat efektif sebagai alarm. Pada saat inilah saya belajar menjadi ayah. Saya belajar menggendong, belajar menenangkan tangisannya. Tidak mudah. Salah satu cara saya adalah mengubah lirik lagu anak dengan kata-kata yang meneguhkan bahwa Damai adalah anak baik. Bukan pesan untuk anak, tapi pesan pada diri saya sendiri bahwa Damai adalah anak baik. Selama saya yakin dia anak baik, selama itu pula saya sanggup bersabar menghadapi tingkah polahnya.
Menjelang cuti istri habis, kami pun membawa Damai ke rumah kontrakan kami di Surabaya. Rumah kontrakan yang sederhana, sehingga begitu sederhananya rumah itu beratap rendah dan tidak mempunyai langit-langit.  Akibatnya, hawa dalam rumah sangat panas. Damai yang lahir di Wlingi yang sejuk, gagal menghadapi menyesuaikan diri dengan hawa rumah. Damai mengalami keringat buntu, kulitnya merah-merah dan menangis hampir sepanjang hari. Mau tidak mau kami pun merelakan Damai kembali ke Wlingi untuk tinggal sementara bersama kakek neneknya. Rasanya patah hati, karena belum mampu menyediakan tempat tinggal yang nyaman buat anak.
Sebenarnya kami sudah mengambil kredit rumah di Sidoarjo, tapi pada saat itu rumah belum selesai dibangun. Jadi setelah Damai kembali ke Wlingi, saya fokus untuk mempercepat pembangunan rumah. Saya akhir pekan tidak lagi ke Wlingi, tapi ke Sidoarjo untuk mengawasi pembangunan rumah. Rasanya kangen banget. Sampai pernah suatu malam ketika sudah begitu kangen, saya pergi ke toko untuk membeli boneka berwarna pink 😀
Rumah sudah siap, dan akhirnya kami akhirnya berkumpul kembali sebagai keluarga di rumah sendiri di Sidoarjo. Babak baru dimulai. Pada masa itu tantangannya adalah menidurkan Damai. Saya dan istri naik motor berangkat pagi dan pulang malam karena jarak kantor dan rumah yang jauh. Sampai di rumah, istri menidurkan Damai dan bila gagal maka saya yang gantian bertugas.
Jurus saya untuk meninabobokkan Damai yang jarang gagal adalah menggendong. Bukan menggendong biasa, tapi menggendong dengan menggoyangnya seirama dengan nada lagu. Jadi kalau nada mengalun lambat, goyangan pun melambat, begitu pula ketika nada mengalun cepat. Sayangnya, lagu yang bisa membuat Damai tidur adalah Disco Lazy Time dari Nidji. Jadi hampir tiap malam saya mandi keringat. Dari buku apa saya belajar jurus ini? Tidak ada. Saya hanya mencoba berbagai cara agar anak nyaman, dan sepertinya Damai juga berusaha nyaman dengan berbagai cara yang dicoba ayahnya 😀
Lewat tengah malam saya dibangunkan istri yang meminta saya gantian menggendong Damai karena ibu mertua dan istri kecapekan menggendong Damai yang menangis keras. Saya gendong Damai, saya alunkan pelan. Dan saya memaksa diri menyanyi dengan suara parau orang baru bangun tidur. Saya jamin suara saya fals dan jelek sekali. Saya menyanyi ngawur dengan lirik “Kruwel-kruwel, Damai, rambutnya”. Tidak berapa lama, Damai berhenti menangis, mata penuh keheranan dan justru tertawa. Setelah tertawa, Damai bersikap tenang dan tidur. Ketika Damai tertawa tadi, saya justru yang menangis 😀

Leave a Reply