Catatan Idul Fitri: Bukan Maaf yang Murah

oleh Najelaa Shihab (Founder Keluarga Kita)
Menjadi orangtua adalah tanggung jawab yang tidak selalu mudah, namun suasana Hari Raya, seringkali membuatnya semakin menantang.
Saat berkumpul bersama keluarga di rumah, atau menempuh perjalanan mudik – rasa bahagia mendominasi. Kita seolah mendapat kesempatan mengenal kembali anak, belajar hal-hal baru yang sehari-hari kadang terlewat. Ada yang membingungkan, ada yang menyebalkan, banyak juga yang mengharukan dan membanggakan. Semua emosi, yang merupakan bagian yang wajar dari menjadi orangtua, namun seringkali ragu kita ceritakan. Sesungguhnya intensitas perasaan ini, juga tanda dalamnya cinta kita kepada anak.
Setiap kali Idul Fitri, saat anak mengucapkan “Mohon Maaf Lahir Batin”, kita kadang lupa, sebagai orangtua yang tidak (akan pernah) sempurna, kita juga banyak melakukan kesalahan pada anak. Keluarga Kita belajar bahwa maaf yang terucap dari anak ke orangtua – dan dari orang tua ke anak, adalah maaf dalam arti restitusi yang sesungguhnya.
Bukan maaf yang murah, karena hanya disampaikan mudah oleh lisan kita. Tapi maaf yang datang setelah ada upaya merehabilitasi, memperbaiki keadaan menjadi lebih baik. Maaf yang datang dengan resolusi, janji untuk melakukan cara yang berbeda di lain kali.
“Maaf aku merusak buku ayah, aku sudah tempel kembali dengan lem sebaik mungkin”, kata sang Anak.
“Maaf, aku sering memberi perintah bernada tinggi sepulang kerja. Mulai sekarang, aku akan biasakan  melepas lelah dan rindu dengan senyuman atau pelukan- bukan teriakan,” kata sang Ibu.
Menjadi orangtua adalah perjalanan yang tidak selalu menyenangkan, namun suasana Hari Raya, memberi kesempatan kita bersenda gurau dan bermain dengan sungguh-sungguh. Saat membagikan hadiah lebaran kepada anak dan handai taulan – kebersamaan sangat terasa, namun kita juga sering menggunakannya sebagai alat tukar dan transaksi.
Padahal yang paling berharga adalah waktu dan tanda cinta spontan. Sementara uang atau sticker, iming-iming dan ganjaran, semakin lama makin berkurang daya tariknya — sisi yang berbeda tapi sama dampak negatifnya dengan ancaman atau cubitan yang semakin lama makin tak mempan. Anak tumbuh menjadi tangguh karena melewati tantangan, berdaya bukan karena didera penderitaan, hukuman terbukti tak akan memberi pelajaran.
Setiap kali Idul Fitri, saat anak menerima dan kita memberi hadiah yang beragam, kita kadang lupa apa arti menyenangkan dan bermakna. Keluarga Kita belajar bahwa senang datang karena kenikmatan dari dalam diri, bukan dari benda yang didapat.
“Aku senang dapat amplop lebaran, tapi aku tahu, puasaku takkan langgeng karena uang yang dijanjikan di awal, tapi menjadi candu karena nikmatnya berbuka dan mengalahkan cobaan”, kata sang Remaja.
Berbahagialah sudah hadir untuk anak-anak kita dan bahkan semua anak di dunia, setiap hari. Karena mengasuh anak bukan sekedar urusan pribadi. Apa yang kita lakukan akan mempengaruhi anak, teman, tetangga dan keluarga – rekan sekantor bahkan saudara sebangsa di masa kini, juga cucu keturunan di masa depan.
Selamat Idul Fitri 1437 Hijriah, semoga perjalanan Keluarga Kita, menjadi amanah luar biasa, setiap hari.

Leave a Reply