Selasa 2 November 2016, berlangsung sesi tanya jawab para Rangkul (Relawan Keluarga Kita) dengan dimoderatori oleh Riza dari Rangkul Tangerang Selatan bersama Ibu Najelaa Shihab (Psikolog & Pendiri Keluarga Kita). Topik kali ini adalah seputar penggunaan gadget until anak usia dini. Berikut ini catatan dari sesi tanya jawab tsb.
1. T: Seberapa penting gawai untuk anak-anak, terutama usia TK-SD?
J: Seberapa penting berkait dengan tujuan pengasuhan dan tahap perkembangan anak. Jadi, yang perlu disepakati adalah gawai itu hanya cara/alat yang punya 2 sisi: bisa efektif dan positif, bias juga jadi risiko yang menghambat mencapai tujuan. Nah, yang membedakan, antara lain: (a) seberapa sering frekuensi penggunaannya; (b) apakah anak disiapkan untuk bertanggung jawab dalam menggunakan gawai tersebut; (c) keterlibatan orangtua.
2. T: Apa benar penggunaan gawai pada anak usia batita (bawah tiga tahun) bisa menyebakan speach delay (terlambat bicara)? Anak saya yang kedua (usia 2,5 tahun) belum lancar bicara, apakah saya hanya khawatir berlebihan karena kakaknya dulu saat usia 2 tahun sudah lancar bicara?
J: Terlambat bicara (speech delay) penyebabnya banyak. Bisa masalah neurologis, masalah perkembangan, dan diagnosis tertentu (autistic spectrum), atau kurang stimulasi komunikasi verbal. Gawai bisa jadi risiko untuk faktor ketiga kalau dipakai berlebihan dan mengurangi kesempatan anak berkomunikasi intens dua arah dengan orangtua dan pengasuh di rumah. Karena dalam penggunaan gawai yang banyak dituntut adalah respons pasif: mendengar dan memencet tombol, tidak dilatih berespons, melihat raut wajah, dan lain-lain. Tapi, sekali lagi, tergantung frekuensi penggunaan dan keseimbangan dengan aktivitas/stimulasi lain. Pada anak harus dilihat juga apakah selain speech delay ada masalah lain, misalnya pemahaman (komunikasi reseptif) juga kurang, rentang konsentrasi, dan perilaku lain agar jelas masalahnya apa dan penanganannya bagaimana.
3. T: Banyak pro-kontra seputar game. Ada yang bilang pro dengan alasan dapat membantu anak mengembangkan strategic thinking yang baik. Benarkah demikian? Usia berapa yang direkomendasikan? Ada juga yang kontra dengan alasan dapat membuat ketagihan dan merusak otak. Sebaiknya bagaimana?
J: Game adalah alat. Tidak semua game diciptakan sama. Masing-masing ada tujuannya, dari mulai yang positif, seperti strategic thinking sampai yang negatif, misalnya mengajarkan kekerasan. Jadi, membantu atau kontra tergantung manfaat game-nya. Yang pasti sama pada game adalah: (a) proses menyenangkan dan stimulasi menarik buat anak; ini membantu anak cepat menguasai keterampilan/nilai yang diajarkan; (b) punya potensi ketagihan; ini perlu diantisipasi dengan kesepakatan bersama dan kegiatan lain yang beragam; (c) banyak yang tingkat aktivitas fisiknya rendah, cenderung membuat anak duduk. Jadi, game digital perlu kombinasi antara yang aktif dan yang pasif, serta postur tubuh anak saat bermain perlu dibiasakan baik.
4. T: Bagaimana dengan gawai sebagai media belajar? Apakah ada syarat khusus pemilihan aplikasinya? Apakah ada ketentuan umur?
J: Gawai sebagai media belajar bisa efektif banget. Namun, yang perlu diperhatikan adalah ketentuan pengguna dari pembuat aplikasi dan rating dari pengguna. Orangtua perlu mengecek dan anak perlu diajarkan proses ini. Secara umum, kalau sebagai media belajar, gawai efektif untuk anak usia 2 tahun ke atas; kalau di bawah 2 tahun tidak dianjurkan. Ditambah lagi, belajar itu harus lewat berbagai media: hands on nyata juga, digital juga. Misalnya, belajar matematika bisa sambil memasak di rumah, belanja ke pasar, pakai benda nyata, seperti beads dan balok, menggunakan aplikasi matematika di komputer, lagu-lagu, dll.
5. T: Ada batasan umurkah kapan sebaiknya kita mulai memperkenalkan gawai? Pada umur berapakah anak mulai boleh mengakses Youtube secara online, tanpa harus diunduh atau ditonton offline?
J: Batasan umur sama dengan jawaban dari pertanyaan No. 4 tadi; yakni dengan mengikuti ketentuan pengguna dari pembuat aplikasi. Semua aplikasi seharusnya ada aturan dan ratingnya. Kalau tidak ada, berarti pembuat/sumbernya tidak dapat dipercaya. Untuk bisa punya akun di Youtube harus sudah punya email. Jadi, selama anak belum 13 tahun, penggunaannya harus bersama orangtua. Orangtua perlu memonitor dan menemani. Anak di bawah usia 8 tahun juga perlu diajarkan bagaimana melakukan pencarian dengan spesifik dan kata kunci yang tepat agar berkurang risiko terpapar materi yang tidak tepat. Selain itu, pengaturan privasi dan notifikasi untuk akun bersama anak harus diatur juga agar aman.
6. Narasumber: Saya penasaran dengan alasan utama orangtua anak usia di bawah 2 tahun memberikan gawai ke anak itu untuk apa, ya? Apakah untuk mengisi waktu karena bingung mau melakukan apa ataukah karena takut anaknya ketinggalan teknologi? 🙂
Rangkul: (A) Lebih karena mengisi waktu di saat orangtuanya sibuk kerja atau mau me time sebentar. (B) Menurut survei ke teman-teman, semacam “pengalih perhatian”, misal ibu/ayahnya sibuk. (C) Kebetulan saya pas anak usia 2 tahun baru dikenalkan gawai, tapi kalau TV dari usia 6 bulan sudah menonton TV. (D) Aku kebetulan pas usia 2 tahun baru mulai membolehkan anak menonton film di laptop dan gawai karena di rumah kami tidak ada TV sehingga untuk lagu-lagu anak diakses di laptop dan gawai, plus di keluarga besar rata-rata semua anak pegang gawai sehingga saat anak menginjak 2 tahun, ia mulai tanya-tanya itu apa. (E) Anakku dikenalkan dengan gawai oleh suamiku sejak umur 1,5 tahun karena menurut suamiku hebat anak usia 1,5 tahun bisa main PS. (F) Menurut temanku, agar anaknya tidak menangis atau kalau menangis supaya cepat diam, ya dikasih gawai. Kalau TV, VCD, anak saya sudah kenal sejak bayi.
(G) Pengalamanku dulu, anak-anak nggak dikasih nonton TV kalau nggak ada kami (orangtuanya) saat usia mereka di bawah 2 tahun. Itu pun jarang kami kasih kalau sedang bersama kami. Tapi, kami kompak, kami nonton TV kalau anak-anak sudah tidur. (H) Karena pas zaman kakaknya HP masih Nokia bata, nggak punya iPad/tab, nggak langganan TV kabel, gawai mulai menarik buat dia saat menginjak 5 tahun, dan untungnya ia sangat patuh aturan.
Respons Narasumber:
Jadi, gawai pertama biasanya TV dan alasan utama karena waktu, ya.
Riza, sebetulnya bukan cuma soal batas umur, 1,5 tahun atau 2 tahun. Tapi, total waktu penggunaannya, apa yang ditonton/dilakukan dengan gawai tersebut, plus isi materinya.
7. T: Bagaimana tentang strategi pembatasan waktu penggunaan gawai pada akhir minggu saja ataukah waktu tertentu saja? Kebetulan ada tetangga saya yang seperti ini. Anaknya jadi memanfaatkan waktu tersebut untuk menggunakan gawai sepuasnya dan sama sekali tidak mau keluar rumah/ikut kegiatan lain karena nggak mau terlewat waktu menggunakan gawainya itu. Menurut ibu bagaimana?
J: Sepuasnya itu berapa lama? Pembatasan screen time (waktu penggunaan gawai) itu bukan cuma total jamnya, tapi juga perlu memperhitungkan waktu jedanya berkait dengan postur, kelelahan fisik, jenis stimulasi sama yang terus-menerus. Misalnya, 30 menit/hari lebih baik daripada 3 jam 1 kali dalam seminggu.
Soal penggunaan gawai memang berkait dengan disiplin, ya. Contoh yang dilakukan (G) dan (H) pada poin nomor 6 tadi, yakni kalau ada batasan harus berlaku untuk semua, termasuk orangtua; dan kalau mau ada perbedaan berarti kesepakatannya jadi sangat penting.
8. T: Kalau untuk anak balita (bawah lima tahun), seperti kasus anak saya yang sangat menikmati sekali menonton Youtube, tapi selalu saya temani dan yang ditonton terbatas seputar lagu anak-anak atau film animasi anak. Seberapa jauh batas toleransi membiarkan anak menonton tayangan di gawai? Selain efek buruk ke fokus perhatian dan mata, adakah efek lain yang perlu diantisipasi? Adakah sebenarnya batasan durasi yang dapat ditoleransi?
J: Batas toleransi tergantung kegiatan sehari-hari anak lainnya serta karakteristik anak juga. Misalnya, kalau 3 jam menonton Youtube, 3 jam baca buku, itu berarti kebanyakan yang pasif; anak perlu aktivitas yang bergerak. Kalau anak obesitas, mungkin butuh lebih banyak lagi kegiatan olahraga. Menonton Youtube pun bisa berbeda kalau anak sendirian menonton kartun dengan sambil mengobrol bersama orangtua melihat cara masak dan mencoba praktik atau bersama kakek dan nenek menonton dongeng yang kemudian dibahas. Jadi, efek buruk selain perhatian dan mata, terutama lebih ke jenis interaksi sosial yang terjadi dan pelajaran yang didapat dari aktivitas digital.
9. T: Bahasa pertama yang saya kenalkan pada anak saya adalah bahasa ibu untuk berkomunikasi, mendengarkan lagu, dll. Ketika sudah mulai bisa berbicara dan menonton TV justru anak saya lebih lancar bahasa Inggris, meski bahasa Indonesia juga paham karena tontonannya selalu berbahasa Inggris. Kalau saya kasih tontonan berbahasa Indonesia ia tidak terlalu tertarik, sedangkan si anak cepat sekali menyerap apa yang ditonton. Kira-kira kalau sembari menonton saya ajak bicara, misalnya dalam bahasa Indonesia blue itu biru, apakah konsentrasi anak akan terganggu?
J: Tidak apa-apa dipaparkan pada dua bahasa. Dan wajar jika anak lebih tertarik ke salah satunya kalau memang paparannya lebih banyak dan materinya/tontonannya lebih menarik. Yang penting tetap dikasih materi dan tontonan yang dua bahasa. Tidak perlu diterjemahkan karena sebetulnya proses anak memahami dua bahasa dia otomatis menerjemahkan dan mentransfer pemahamannya ke bahasa yang lain. Biasakan saja membahas kalau ada kosakata yang baru atau tidak umum, misalnya Tanya, “Kamu tahu blue itu artinya apa?” atau, “Wah, Mama baru ingat layang-layang bahasa Inggrisnya kite.” Sehingga anak memperhatikan kosakata dan tahu kalau ini adalah hal yang bisa ditanyakan dan menarik dipercakapkan dengan orangtua.
10. T: Aku pernah baca di salah satu posting, kaitannya antara waktu menonton gawai dengan kelainan orientasi seksual atau LGBT. Sepemahaman aku dari tulisan itu, lebih kepada bahwa anak yang lebih sering main gawai kurang bergerak akhirnya fungsi-fungsi otot dan juga tubuh lainnya tidak terstimulasi dengan baik dan menghambat beberapa hormon atau sebaliknya memompa hormon yang lebih banyak dan akhirnya tidak seimbang. Nah, ini aku bingung maksudnya bagaimana, dan apakah betul ada kaitannya?
J: Aku nggak pernah tahu kelainan orientasi seksual atau LGBT yang disebabkan oleh fungsi otot. Penyebab utamanya adalah kelainan psikologis dan dalam kasus yang amat kecil sekali ada kelainan medis, tapi lebih terkait hormon, bukan otot. Kalau gawai yang paling mungkin itu berkait dengan materi/konten, misalnya paparan pornografi atau nilai dan karakter LGBT yang bisa saja jadi lebih banyak.
T: Jadi, pada dasarnya konten yang paling berpengaruh, ya? Mesti bikin konten sendiri yang baik, nih, agar anak-anak Indonesia kalau nonton aman-aman saja.
11. T: Usia berapakah idealnya anak diajarkan browsing via Google/Youtube, terutama yang penggunaannya sebagai media belajar/riset, padahal Google/Youtube ‘kan ada syarat usia penggunanya?
J: Untuk browsing, bisa dimulai pada usia 5-6 tahun saat anak mulai bisa baca-tulis dengan cara memperkenalkan dengan menggunakan kata kunci, spesifik, membedakan info yang benar, dst. sambil didampingi terus oleh orangtua dan guru.
T: Intinya memang harus didampingi terus sampai dia bisa mandiri berpikir, ya Bu? Memilah informasi/artikel mana yang tepat dan tidak tepat, dll.
J: Iya, ini ‘kan keterampilan, jadi perlu latihan dan bimbingan. Sama kayak mengajarkan anak makan, naik sepeda, dst. Kita lihat progres anak, kapan bisa dilepas sedikit-sedikit, dst. Ini yang susah. Kadang orangtua memberikan gawai kalau sudah bisa menekan tombol dan memakainya, anak dianggap sudah mahir, padahal anak perlu didampingi dalam navigasi di dunia digital. Keterampilan di sini termasuk etika di media sosial. Di modul Cerdas Digital ada 4K, yang salah satunya adalah keamanan. Di sini termasuk etika dan privasi. Keterampilan tersebut beda-beda, jadi harus diajarkan satu per satu.
T: Terima kasih, Bu. Benar banget kalau orangtua sering kecolongan ketika anak-anaknya jago main gawai/game, dianggap anaknya sudah bisa browsing tugas/PR, padahal beda banget.
T: Noted. Berpacu banget yang ini, baru mengajarkan yang satu, sudah ada lagi yang lainnya.
J: Beberapa keterampilannya bisa ditransfer, kok. Tapi, memang teknologi digital cepat sekali berubahnya. Karena itu, keterampilan dasar yang penting adalah selalu kritis (mengecek kembali validitasnya atau apakah bisa dipercaya), selalu aman (jaga privasi), dst.
—-