13 Pertanyaan tentang Pendidikan Seksualitas untuk Anak Usia Dini

Rabu 16 November 2016, berlangsung sesi tanya jawab para Rangkul (Relawan Keluarga Kita) dengan dimoderatori oleh Shanti dari Rangkul Depok bersama Ibu Tari Sandjojo (Psikolog & Academic Director Sekolah Cikal). Topik kali ini adalah seputar pendidikan seksualitas untuk anak usia dini Berikut ini catatan dari sesi tanya jawab tsb.
T: Pada usia berapa sebaiknya orangtua mulai mengenalkan/mengajarkan tentang seks pada anak? Dan bagaimana cara memulainya?
J: Memperkenalkan seks pada anak dapat dimulai sejak anak menunjukkan ketertarikan untuk mempelajari anggota tubuh. Saat anak-anak mulai belajar tentang anggota tubuh, seperti mata, telinga, hidung, tangan, kaki, perut, punggung, dll., saat itu juga orangtua mulai mengenalkan penis dan vagina. Mengenalkan penis dan vagina adalah tahapan pertama memperkenalkan seks pada anak. Perkenalkanlah bahwa penis dan vagina adalah bagian dari tubuhnya. Mulailah dari bagian tubuh yang tangible atau terlihat sebelum mulai masuk ke sistem tubuh yang tidak terlihat, seperti sistem pencernaan, pernapasan, dan reproduksi.
Mulai dari mengenal anggota tubuh, anak akan mulai memahami bahwa ada perbedaan antara penis dan vagina. Kemudian berlanjut ke pemahaman fungsi yang paling dekat, seperti laki-laki buang air kecil melalui penis, sementara perempuan melalui vagina.
T: Bagaimana menjawab pertanyaan: “Adik bayi di perut Ibu datangnya dari mana?” dan apakah perlu dijelaskan secara mendetail tentang prosesnya?
J: Kita bisa mulai dari penjelasan tentang bayi yang tidak langsung ada dalam wujud besar seperti ketika dilahirkan. Ada proses dari janin yang sebesar kacang, kemudian tumbuh membesar dan setelah cukup besar, harus dikeluarkan dari perut Ibu. Ini dapat dijelaskan dengan menggunakan gambar sebagai ilustrasi.
Untuk anak usia dini, tidak perlu dijelaskan secara detail mengenai proses bagaimana sperma masuk ke dalam rahim karena biasanya pemahaman anak pada usia tersebut belum sampai ke tahap ini.
Intinya, jika anak sudah bertanya tentang hal ini, artinya ia sudah punya rasa ingin tahu dan memang harus dijawab. Pertanyaan anak adalah momen belajar yang tepat. Bereaksilah dengan tepat, jangan berpikir/bereaksi terlalu jauh dan mencari jawaban yang terlalu rumit untuk diterima anak-anak. Usahakan jawab dengan jelas dan tenang, sambil melihat reaksi anak dan menggali sejauh mana pemahaman anak soal seks yang sudah ia ketahui.
T: Bagaimana cara menjelaskan kepada anak bahwa ada perbedaan antara alat kelamin pria & wanita? Apakah lebih baik memalui media gambar ataukah harus diperlihatkan, misal saat mandi bersama ibu atau ayah?
J: Jika kita ingin menyampaikan pesan bahwa keingintahuan soal seks—dalam hal ini adalah soal alat kelamin—adalah hal yang sangat wajar, kita harus pastikan bahwa sebagai orangtua kita merasa nyaman dengan kondisi pembelajaran seperti itu. Jika kita nyaman dengan menunjukan langsung tanpa media lain, seperti dengan mandi bersama, maka silakan dilakukan. Jika tidak nyaman, lebih baik lewat gambar/buku. Kenyamanan dan keterbukaan kita terhadap topik ini akan memengaruhi kenyamanan dan keterbukaan anak selanjutnya.
Untuk metode mandi bersama harus dipahami bahwa pada usia tertentu kebiasaan ini harus dihentikan, yakni ketika anak sudah mulai paham konsep “telanjang” pada diri sendiri dan orang lain.
T: Anak saya laki-laki, usia 3,5 tahun. Satu bulan terakhir ini, ia terlihat senang menstimulasi penisnya, dikatakan senang karena ia tertawa dan mengatakan geli-geli. Stimulasi biasanya dilakukan dengan tidak sengaja, misalnya ketika sedang saya pangku lalu ia gerak-gerakkan badannya, kemudian secara tidak sengaja penisnya bergesekan dengan paha saya.
Pertanyaan saya, apakah itu hal yg wajar di usianya? Lalu respons apa yang sebaiknya saya berikan ketika ia melakukan itu?
Selama ini ketika ia tertawa senang saat penisnya terstimulasi, saya tanya, geli, ya? Iya, katanya. Sambil tunjuk penisnya, lalu saya bilang kalau penis itu salah satu bagian yang sensitif seperti paha atau ketiak yang kalau dipegang atau dikelitiki akan terasa geli. Tapi, itu tidak boleh dilakukan sering-sering karena penisnya bisa sakit atau luka. Apakah respons yang saya berikan sudah tepat?
J: Anak mulai belajar bahwa fungsi alat kelamin lebih dari sekadar untuk pipis, ada fungsi “for pleasure” (kesenangan) yang memang dimulai pada usia sekitar 4 tahun. Kesenangan di sini artinya tidah hanya untuk kepuasan seksual secara langsung, namun terkadang untuk rasa nyaman.
Hal ini memang biasanya “ditemukan” anak secara tidak sengaja dan tentunya ia akan mengulang situasi tersebut karena “pleasure” itu. Tetapi, ini wajar sekali dan respons Ibu dalam menanggapi hal ini adalah dengan tenang dan bertanya/menggali tentang apa yang ia rasakan sudah tepat.
Situasi seperti ini adalah saat yang tepat untuk mengajarkan kepada anak bahwa penis (alat kelamin) adalah area tubuh pribadi sehingga beragam kegiatan terkait daerah pribadi itu harus dilakukan di area pribadi juga (kamar mandi dan kamar), bukan di tempat umum. Ini sebabnya mengapa mandi dan buang air juga harus di kamar mandi, ya.
Kemudian biasanya, anak melakukan hal tersebut karena memang sedang “nganggur” atau tidak ada kegiatan atau sedang melakukan kegiatan pasif, seperti menonton TV. Jadi, bisa Ibu perhatikan polanya, kapan perilaku ini berulang dan antisipasi dengan mengajaknya “sibuk”, misalnya ajak mengobrol atau bernyanyi, baca buku, bahkan bermain, yakni mengalihkan kegiatan tersebut dengan kegiatan lain.
T: Bagaimana cara menjelaskan kepada anak laki-laki umur 5 & 7 tahun yang suka banget pegang dan mainin penis? Selama ini, saya sudah coba menjelaskan dengan memahami “kenyamanan” mereka ketika memegang-megang penisnya dan coba mengalihkan ke kegiatan lain, tapi mereka masih saja sering melakukannya, terutama saat menjelang tidur dan bangun tidur. Mereka pun selalu bertanya, nggak bolehnya kenapa? Ketika saya jelaskan bahwa tangan kita kotor, banyak kuman, dan bisa membuat penis lecet atau luka, mereka menjawab, nggak, kok, aku udah cuci tangan, ini nggak luka juga, kok.
J: Melakukan hal itu saat sebelum dan bangun tidur itu sebenarnya menunjukkan kewajaran, terutama saat bangun tidur, penis biasanya memang mengalami ereksi. Siasati dengan langsung mengajak melakukan kegiatan lain sebelum dan setelah bangun tidur.
Kalau anak sudah sekolah, bisa dialihkan dengan harus cepat-cepat bangun dan mandi. Jika belum sekolah, alihkan langsung dengan kegiatan yang menyenangkan dan tetap memberikan kehangatan pada anak, misal main kelitik-kelitik sehingga mood anak pun berubah senang dan teralihkan dari rasa yang timbul pada penisnya.
Yang harus diwaspadai orangtua adalah jika kemudian perilaku ini dilakukan di waktu-waktu lain yang mengganggu aktivitas sehari-hari.
T: Bagaimana cara menjelaskan arti “middle finger up” ke anak usia 7 tahun karena ia bertanya apa artinya dan ketika dijelaskan itu tidak sopan, ia tanya lagi, kenapa tidak sopan. Ketika dijelaskan kalau hal itu bisa berarti negatif, ia tanya lagi, negatifnya apa dan kenapa nggak boleh? Ketika mau tidur sudah dialihkan dengan refleksi, tapi diam-diam tetap pegang dan pas bangun tidur juga sudah dialihkan, tapi kadang nggak sukses juga. Pertanyaan saya soal bagaimana menjelaskannya, ya Bu?
J: Hal pertama yang harus dilakukan saat anak bertanya adalah periksa kembali maksud pertanyaan anak dan gali terlebih dahulu sampai di mana tingkat pengetahuannya akan hal itu. Jika anak bertanya tentang “middle finger up“, coba direspons dengan bertanya kembali, dari mana anak mendengar atau melihat. Kemudian bertanya lagi, seperti, “Waaah, apa, ya, kira-kira artinya?” Hal ini merupakan salah satu strategi untuk mengetahui tingkat pemahaman anak.
Ajarkan juga pada anak untuk tidak mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak ia ketahui artinya. Ini akan mencegah anak untuk sekadar meniru dan mengajarkan anak untuk berpikir sebelum bertindak/berbuat/berkata-kata.
T: Saya sudah membiasakan anak saya menyebut kemaluan dengan penis dan vagina. Ketika sedang berenang dan melihat anak lain telanjang, secara spontan ia berkomentar, “Ih, malu… ‘Kan nanti vaginanya kelihatan.” Hal ini membuat ibu-ibu di sekeliling kaget dan menatap anak saya dengan aneh karena menyebut vagina. Bagaimana seharusnya, ya? Apakah saya harus mengganti penggunaan kata penis dan vagina dengan nama lain yang lebih tidak tabu didengar oleh orang lain?
J: Sudah benar sebutan yang Ibu berikan. Jangan sebut dengan sebutan lain, dikhawatirkan malah misleading. Justru, kita coba pelan-pelan mengedukasi orang-orang di sekitar kita, bahwa penis dan vagina adalah sebutan yang benar. Kemudian kita ajarkan juga pada anak bahwa karena kedua hal tersebut (penis dan vagina) adalah private part, jadi sebaiknya menyampaikan ke orang lain secara personal, misalnya dengan mendatangi anak/orang yang bersangkutan dan berbisik saja untuk mengingatkan.
T: Anak saya perempuan usia 4 tahun 10 bulan. Di sebelah rumah, ada anak SD laki-laki usia 6 tahun. Suatu hari sepulang bermain, anak saya pulang dengan perasaan kesal, ia bercerita bahwa anak laki-laki tersebut meminta ia menjadi pacarnya. Kebetulan anak saya belum pernah mengenal, bahkan mendengar kata “pacar”. Di dalam pikirannya, pacar adalah sahabat karena ia merasa sahabatnya perempuan, jadi ia agak kesal. Saat itu, saya hanya katakan kalau kita harus berteman dengan semua.
Pertanyaan, apakah saya harus  menjelaskan maksud dari “pacar” itu atau saya biarkan saja? 
Apa yang perlu saya ajarkan kepada anak saya jika suatu saat ada yang berbicara seperti itu lagi kepadanya, apa yang harus ia jawab?
J: Apa yang Ibu lakukan sudah benar, yakni membahas konsep pertemanan yang sehat.Saat anak saya masuk usia 12 tahun, ia katakan kepada saya kalau ia punya “girlfriend”. Saya tanya, apa arti “girlfriend”dan dijawab, “Girlfriend itu artinya chat buddy, Ma. Temen ngobrol di Line.” Ibunya langsung bernapas lega.
Intinya, konsep “pacar” di kepala anak itu belum tentu sama dengan konsep di kepala kita, orang dewasa sehingga menjadi sangat penting untuk crosscheck terlebih dulu, gali sejauh mana pemahaman anak soal ini. Pada kasus ini, jelas anak ibu belum punya pemahaman akan konsep “pacar” sama sekali sehingga ibu dapat konsisten pada pembahasan mengenai persahabatan, di mana diceritakan ia sudah mempunyai sahabat. Ceritakan bahwa sahabat itu berarti punya minat dan hobi yang sama, punya penyanyi idola yang sama, punya film favorit yang sama, dll.
Sebagai informasi, intimacy relationship atau yang kita sebut pacaran itu adalah tahapan perkembangan pada remaja (usia 15-18 tahun). Jadi, sebelum itu, pembahasan tentang “pacar” hanya soal pertemanan/persahabatan sehat saja.
T: Anak saya usia 4 tahun 3 bulan, senang sekali membahas hal-hal yang berhubungan dengan “menikah” atau “menjadi suami istri, seperti ibu & bapak”. Dia suka sekali melihat-lihat foto pernikahan ibu & bapaknya kemudian berandai-andai “kalau besar nanti, aku akan menikah dan akan punya anak juga ya, Bu.”
Pertanyaannya, apakah pemikiran ini wajar di usia balita? Saya khawatir ini belum saatnya.
J: Wajar. Ini adalah usia yang sama di saat anak suka dengan cerita fairy tale dan princess. Secara teori, ini usia di mana anak mengidentifikasikan dirinya dengan orangtua yang berjenis kelamin sama dengan dirinya sekaligus mengidolakan orangtua dari jenis kelamin berbeda. Ibu adalah pusat dunianya sehingga ia membayangkan dirinya di masa depan sama seperti ibunya. Hal ini wajar dan sesuai dengan tahapan perkembangan.
T: Anak saya perempuan usia 3,5 tahun. Saya dan suami mulai mengajarkan tentang mana perempuan dan mana lelaki sejak ia 2 tahun, misal: “Ayah lelaki, Ibu perempuan.” Belakangan ini, saya amati ia lebih mudah menghafal dan ingat dengan teman-teman laki-lakinya atau saudara laki-lakinya. Apakah ini wajar?
J: Anak perempuan pada usia ini sedang mengidentifikasi dirinya dengan ibu dan mengidolakan ayah sehingga wajar kalau ia lebih memperhatikan yang laki-laki.
T: Kapankah usia yang tepat untuk menjelaskan proses reproduksi kepada anak? Bagaimana menjelaskannya?
J: Topik tentang seks dan hal sensitif lainnya nggak bisa serta merta secara tiba-tiba dibahas karena kalau tiba-tiba dibahas, bisa jadi anak belum siap dibawa ke pemahaman yang kita pikir sudah sesuai. Jadi, sangat penting untuk memanfaatkan momen saat anak bertanya atau saat kita “membaca” perubahan perilaku pada anak untuk kemudian mengajukan pertanyaan. Saat seperti ini adalah momen pembahasan yang tepat.
Misalnya, ada momen ketika saat anak sedang menonton film bersama kita, anak sama sekali tidak terganggu dengan adegan romantis (adegan romantis bisa juga muncul di film anak-anak). Namun, ada saat di mana kita lihat anak “bereaksi” terhadap adegan romantis atau bahkan ciuman, misalnya tiba-tiba ia beranjak pergi dari ruangan atau tampak malu-malu, atau mengalihkan pandangan.
Saat itulah kita bisa memulai percakapan, misalnya: “Lho, kok, Mama ditinggal mendadak? Kenapa, Kak?”
Kalau selama ini komunikasi kita dengan anak berjalan baik, biasanya anak akan dengan nyaman menjawab dan diskusi bisa berlanjut. Misalnya, percakapan jadi berlanjut seperti ini:
“Aku malu, Ma, kalau liat yang cium-ciuman gitu.”
“Kenapa malu, Kak?”
Dan seterusnya.
Saat seperti ini kita juga dapat memasukkan nilai-nilai keluarga yang dianggap penting, misalnya: “Iya, ya, ciuman seperti itu memang harusnya tidak dilakukan di depan umum dan harus dilakukan oleh suami-istri, seperti Papa dan Mama.”
T: Mirip sama pertanyaan di atas, tapi untuk anak yang usianya sudah lebih besar; untuk mempersiapkan diri kalau tiba-tiba ditanya. Dengan usia yang sudah lebih besar tentu penjelasan bayi datang dari Tuhan karena kita berdoa minta anak, sudah tidak bisa diterima. Dia sudah tahu kalau terjadinya karena sperma bertemu dengan sel telur. Apakah ada tip atau referensi untuk menjelaskan? Apakah di sekolah nanti diajarkan?
J: Apakah sudah djawab secara mekanikal? Pertanyaannya, biasanya menjadi pertanyaan teknis, bahwa sperma bertemu sel telur. Bagaimana bertemunya? Kalau di sekolah, penjelasannya secara mekanikal, pakai semprotan tanaman, diisi air. Tekan tuasnya, di mana air kemudian tersembur keluar. Nah, seperti ini cara bekerjanya.
T: Bagaimana cara agar anak mau terbuka dengan orangtua soal seks?
J: Intinya, komunikasi tidak tiba-tiba bisa lancar begitu saja, apalagi untuk topik sensitif. Jadi, hal yang penting bagi orangtua untuk membangun pola komunikasi yang baik dengan anak, sejak awal, sedini mungkin, untuk topik-topik yang lebih umum.
Jangan ada communication blocker, seperti nasihat, perintah, interogasi, mengabaikan perasaan, sarkasme, atau mengalihkan pembicaraan.Jenis communication blocker tersebut biasanya membuat anak tidak ingin berkomunikasi dengan kita.
Jika anak bertanya seputar topik sensitif, hal yang perlu diingat orangtua:
1. Cek maksud pertanyaan anak dan tingkat pemahamannya.
2. Gunakan istilah yang benar.
3. Cek juga, ini pertanyaan dia atau temannya.
4. Sambungkan dengan nilai keluarga dan agama agar anak tahu batasan-batasannya.

Leave a Reply