12 Pertanyaan tentang Penerapan Disiplin pada Anak Usia Dini

Relawan Keluarga Kita (Rangkul) yang aktif mengadakan sesi Berbagi Cerita Rangkul secara rutin mengadakan sesi tanya jawal secara online di grup. Tanya jawab seri ke 3 ini membahasa tentang Penerapan Disiplin pada Anak Usia Dini dengan narasumber Ibu Najelaa Shihab (Pendiri Keluarga Kita). Berikut ini catatannya.

1. Bagaimana mengatasi kebiasaan menonton TV pada anak, khususnya film kartun. Film kartunnya yang memang buat anak-anak, bagaimana kalau anak jadi ketagihan? Sementara ini, solusi saya dengan menghapus saluran kartun dari TV yang 24 jam nonstop berisifilm kartun, tidak ada jeda. Saya sudah mencoba memakai teknik i-message juga nggak mempan. Karena itu, saya hapus saluran kartunnya. Sudah benarkah tindakan saya?

Jawab: Kebiasaan menonton TV atau kartun bukan kebiasaan yang buruk kalau pola menontonnya baik. Baik di sini meliputi banyak hal: porsi waktu menonton tidak berlebihan, ada interaksi untuk membahas isi yang ditonton, sikap tubuh saat menonton baik, jadwal anak untuk melakukan kegiatan lain yang bersifat aktif cukup. Kalau dari pertanyaan ini, kelihatannya isunya soal waktu. Yang paling penting, ada kesepakatan bersama dulu mengenai waktu ini. Kemudian konsekuensinya apa jika dilanggar. Kalau kesepakatan ini dijalankan konsisten, anak akan mampu membentuk kebiasaan baru menonton yang baik. Menggunakan i-message baik untuk membuat anak memahami kebutuhan ibu, terutama saat membuat kesepakatan atau mengingatkan anak saat harus menjalani konsekuensi.
2. Kalau untuk penegakan disiplin orangtua (suami-istri) bagaimana, ya? Saya dan suami sering banget berebut gadget. Seringnya, saya kesal setiap kali anak saya bersama ayahnya. Mereka sering banget tepergok dalam keadaan ayahnya tidur, anak anteng melihat gadget, entah menonton video animasi atau bermain game. Saya sering banget umpetin tabletnya, tapi ayahnya selalu menemukannya. Saya juga sering melarang anak saya bermain memakai tablet, tapi ayahnya malah memberikan. Dia bilang, “hiburan”. Bagaimana, ya? Ini bikin saya emosi.
Jawab: Karena sudah dewasa, kalau dengan suami untuk menumbuhkan disiplin positif berbeda pendekatannya, terutama karena istri sulit/tidak mungkin menerapkan konsekuensi ke suami. Cara yang paling efektif dimulai dengan membuat kesepakatan tentang tujuan. Apa yang ingin ditumbuhkan pada anak. Misalnya, suami ingin anak terhibur, istri ingin anak yang seperti apa. Kemudian, kebutuhan suami yang lain apa, misalnya istirahat/tidur, kebutuhan istri atau anak apa, dan seterusnya. Jadi, kita melakukan langkah resolusi konflik: mencoba saling mendengarkan dan menafsirkan. Baru kemudian bicara tentang alternatif solusi yang bisa memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. Kalau sekarang situasinya jelas belum siap untuk resolusi konflik karena masalahnya sepertinya masih masalah yang “dimiliki” oleh istri saja.
3. Bu Elaa, kalau saya kenapa lebih gampang bikin kesepakatan sama anak, ya, daripada sama suami?
Jawab: Kalau situasi sama anak itu ‘kan sebetulnya ibu punya “otoritas” karena usia, bentuk tubuh, peran, pengalaman, dan lain-lain. Anak pun pengalaman hidupnya terbatas, cuma sama kita sebagai orangtuanya. Sementara suami, selain secara alamiah peran dan hubungannya dengan istri berbeda, juga punya pengalaman “pengasuhan” sebagai anak yang sudah superlama. Jadi, proses unlearning-nya lama sebelum mulai belajar teknik baru.
4. Anak saya perempuan, umur 8 tahun, belakangan ini untuk segala hal hampir nggak pernah nggak pakai marah. Saya bahkan mencoba berdiskusi dengan dia dan bikin kesepakatan, tapi dia menolak. Sampai akhirnya, kami bisa membuat sebuah kesepakatan dan dipasang di pintu kamarnya. Saat dia sedang kesal, kesepakatan yang dipasang di pintu kamarnya itu dirobek. Kadang kalau lagi sabar, saya beri dia waktu dan saya diamkan, baru saya ajak bicara. Tapi, kadang-kadang kalau saya diamkan, dia seperti sengaja cari-cari perhatian dengan marah-marah ke mbaknya. Anak ini mulai tumbuh payudara juga. Apakah mungkin ada hubungannya dengan hormonal, ya? Dan bagaimana cara menyikapi saat dia sedang marah-marah yang terkadang dia nggak bisa bilang apa penyebabnya.
Jawab: Kalau dilihat dari perkembangan fisik sudah mulai tumbuh payudara, walau baru 8 tahun, berarti memang sudah masuk masa pubertas yang prosesnya memang bisa bervariasi sampai 3 atau 4 tahun. Salah satu ciri lain memang mood swing. Susah bagi anak buat menjawab kenapa saat ditanya alasan emosinya. Yang penting, dia belajar mengendalikan emosi dan tahu apa yang mesti dilakukan, misalnya menenangkan diri sendirian, menulis diary, atau mendengarkan musik. Kita perlu bantu anak praremaja mengenal teknik yang efektif buat dirinya. Refleksi membahas emosi, teknik mengatasi tidak bisa saat sedang emosi, jadi harus tunggu momen yang pas saat suasana hatinya sedang enak diajak bicara. Kita bantu dia juga untuk mengenali pola dirinya, misalnya: “Kamu kalau Minggu malam Mama lihat lebih sering emosi,” atau, “Kamu kalau lagi mengerjakan tugas yang bertumpuk sepertinya lebih mudah marah.” Jadi, kita membantu anak dengan memberikan anak insight untuk mengenal dirinya dan emosinya.
5. Pertanyaan sekalian curhat, ya Bu. Bagaimana cara berkomunikasi dan cara memberi pengertian kepada suami tentang kesepakatan yang sudah disepakati antara ibu dan anak soalnya perbedaan cara pandang jadi penghalang kesepakatan dengan anak?
Jawab: Kesepakatan antara istri dengan suami harus ada dulu sebelum jadi kesepakatan bersama anak. Walaupun kesepakatannya terbatas pada, “Oke, kita coba cara kamu kali ini.” Di depan anak, penting untuk satu suara dan menjaga konsistensi, siapa pun figur utamanya. Kalau tidak, konflik antara orangtua akan bisa dideteksi anak, walaupun anak masih kecil, serta membuat ibu jadi berespons terhadap emosinya sendiri atau emosinya terhadap pasangan dan tidak sensitif serta responsif pada emosi anak. Jadi, selesaikan PR dengan suami. Ini lebih urgent (mendesak) sebelum bersama-sama membimbing anak.
6. Kalau anak sempat menonton tontonan yang tidak sesuai untuk anak seumur dia (usia anak 8 tahun), seperti cara berciuman dan hal lain yang berkaitan dengan hal itu, bagaimana menyikapinya, ya? Dia pengin tahu banget dan dia juga nggak mau terbuka sama saya. Kalau sudah demikian, bagaimana solusinya?
Jawab: Perlu secara spesifik untuk bilang bahwa kita tahu dia sudah menonton sesuatu dan memahami keingintahuannya sebagai hal yang wajar. Kalaupun anak tidak mengaku pada saat itu, paling tidak pesan bahwa ibu bisa menjadi sumber informasi mengenai seksualitas sudah tersampaikan dan harapannya lain kali dia akan mendekati kita untuk menjawab pertanyaan. Cari momen lain ketika topik ini bisa secara alamiah muncul, misalnya saat menonton film ada karakter yang pacaran atau melihat orang lain berciuman di tempat umum. Tidak perlu ungkit mengenai dia berbohong pernah menonton hal itu, tapi langsung ke topiknya: “Menurut kamu, bagaimana? Apa yang sudah kamu tahu?”. Kalau orangtua menunjukkan keterbukaan berkomunikasi, perlahan anak akan belajar bahwa ini bukan topik yang tabu. Walaupun sensitif, orangtua bersedia berbagi dan mendengarkan.
7. Apakah usia anak juga berpengaruh pada penerapan disiplin? Untuk anak saya yang berusia 4 tahun sudah baik sejauh ini. Nah, yang usia 2,5 tahun masih bolong-bolong alias belum konsisten; masih doyan tantrum padahal sudah bikin kesepakatan dan sudah mengerti, tapi dia semacam denial.
Jawab: Iya, tentu usia anak berpengaruh. Sebagian teknik disiplin positif, seperti kesepakatan, konsekuensi, baru bisa mulai diterapkan konsisten di usia 2 tahun karena kemampuan verbal anak sudah lebih baik dan kelekatan hubungannya dengan orgtua sudah kuat. Sebelum usia 2 tahun, disiplin positif yang dominan berbentuk dukungan, pencegahan, dan pengalihan serta fokus pada interaksi yang positif agar tumbuh rasa percaya. Jadi, wajar kalau di usia 2,5 tahun anak masih butuh belajar untuk bisa mengendalikan diri dan punya disiplin diri. Isu juga berubah seiring tahap perkembangan anak. Yang pasti, setiap keberhasilan di satu tahap akan memperbesar keberhasilan di tahap berikutnya. ‘Kan marathon :).
8. Terkait dengan konsistensi anak, untuk usia 5 tahun di mana anak sebenarnya sudah bisa diajak bicara dan membuat kesepakatan, wajarkah kalau ketika dia menghadapi suatu kejadian yang ternyata tidak sesuai dengan hatinya, walaupun sudah sepakat sebelumnya, kemudian dia mengamuk, tantrum, dan berkata kalau mamanya nggak sayang, mamanya jahat, dan berusaha membatalkan kesepakatan? Bagaimana cara menghadapi anak yang tantrum seketika begitu, ya Bu? Saya sudah berusaha setenang mungkin untuk konsisten menghadapinya, tapi terkadang neneknya nggak sabar juga dan merusak kesepakatan yang ada.
Jawab: Iya, anak usia 5 tahun sangat wajar masih kadang sulit mengendalikan emosi. Sekali lagi, yang kita inginkan progres, bukan kesempurnaan. Kesalahan pasti ada. Kita sebagai orangtua menggunakan ini sebagai kesempatan belajar; untuk anak maupun kita sendiri. Semakin lama kita menerapkan disiplin positif, semakin mudah buat anak maupun orangtua. Ini akan jadi kebiasaan positif di keluarga. Nggak sabar, tantrum, tidak seharusnya mengubah kesepakatannya, tapi digunakan sebagai momen refleksi, apa yang bisa lebih baik lain kali. “Bagaimana kalau sudah pengin teriak lain kali? Oh, sebelum pergi harus makan dulu biar kalau macet nggak kelaparan.” Atau: “Lain kali kalau Mama mengingatkan jangan di depan teman karena aku jadi malu. Kalau mau ingatkan aku, sambil bisik-bisik saja.” Semua ini dikomunikasikan dengan anak. Menghadapi anak agar tenang kunci utamanya memahami bahwa tantrum atau apa pun emosi dia adalah tentang dia, bukan tentang kita. Jadi, bukan dia sengaja bikin hidup kita susah. Ini menenangkan emosi kita dan membuat kita bisa memahami apa yang dibutuhkan anak. Misalnya, bukan dimarahi, tapi berada dalam situasi yang lebih tenang dan nggak berisik.
9. Bagaimana cara kita mengelola emosi kalau terjadi konflik sama suami di depan anak kita, Bu?
Jawab: Kalau konflik terlanjur terjadi di depan anak, pastikan cara menyelesaikannya juga dilihat dan diketahui anak. Cara mengendalikan emosi dengan memilih berkomunikasi efektif: menggunakan i-message, mengungkapkan maaf, mencari apa yang disetujui/disepakati walau sedikit, bukan memperuncing perbedaan, menyampaikan apresiasi terhadap sikapnya yang positif, serta teknik komunikasi yang baik. Selalu sulit, tapi harus dicoba walaupun sulit agar menjadi kebiasaan. Kalau perlu, bawa contekan dulu agar kita bisa berhenti sejenak dan lama-lama lancar/terjadi alamiah. Kalau kita memulai teknik komunikasi yang efektif, suami/lawan konflik akan punya reaksi yang berbeda dan juga mencontoh/membalas dengan teknik yang efektif juga sehingga konflik berlangsung dengan lebih baik.
10. Anakku masih 11 bulan dan baru satu. Saat ini, anakku cerewet sekali; suka mengoceh dan sudah bisa menunjuk-nunjuk apa yang dia mau. Terkadang kalau tidak dikasih, dia suka menggeram, teriak, atau bahkan menangis tanpa air mata. Tapi karena masih kecil, jadi masih bisa ditolak. Tentunya dengan menyebutkan alasannya kenapa, lalu dialihkan supaya tangisannya berhenti. Pertanyaannya, apakah hal tersebut bisa menjadi gejala awal tantrum? Bagaimana menyikapinya yang benar untuk anak usia segini? Apakah sikap saya sudah benar karena usia segini belum bisa bikin kesepakatan, ‘kan ya?
Jawab: Iya, pada usia ini teknik disiplin utamanya adalah pencegahan. Jadi, kita kenali pola anak kita, apa yang menyebabkan tantrum, misalnya saat lapar dan masih di jalan, atau saat mengantuk dan rebutan mainan bersama sepupu sehingga kita bisa mencegah masalah terjadi. Teknik lain kalau bibit sudah keliatan, misalnya dia sudah goyang-goyangkan kaki di depan guci dengan mengalihkan ke hal lain, misalnya: “Ayo, kita main sepakbola di halaman,” sehingga kebutuhannya untuk aktif terpenuhi dengan cara yang tepat. Tantrum pada usia di bawah 2 tahun dibantu diatasi dengan berempati pada anak, secara fisik dengan memeluk atau bahkan ikut tiduran di lantai dengan anak sambil tenang juga secara verbal dengan berbicara, misalnya: “Pasti nggak enak, ya rasanya menangis.” Pastikan intonasi dan gerakan tubuh kita tenang dan tidak panik agar anak juga jadi lebih tenang. Biasanya, ini lebih mudah kalau tidak di depan orang dan suasana ramai.
11. Anak saya berusia 2 tahun 7 bulan. Belakangan ini tiba-tiba jadi suka marah-marah, terutama kalau dia merasa tidak nyaman. Dia akan mendorong atau refleks memukul sambil bilang, “Jangan.” Misalnya, ketika temannya mendekat mau cubit pipinya, dia refleks bilang, “Jangan,” dan memukul. Hari berikutnya ketika anak itu mendekati dia lagi, dia pun refleks lagi seperti itu padahal di rumah sebelum berangkat sekolah selalu saya ajak bicara untuk saling menyayangi siapa pun seperti dalam kesepakatan bersama kami. Apakah ini normal, Bu? Pendekatan seperti apa yang harus saya lakukan selain mengajak bicara dan memberi pengertian bahwa memukul itu menyebabkan orang lain sakit dan sedih?
Jawab: Sangat wajar karena pada usia ini tantangan utamanya memang membina hubungan dengan orang lain. Kasih kesempatan untuk banyak latihan dengan anak yang seusia, yang lebih besar, dan lebih kecil. Anak usia ini juga belum mengenal kekuatan tubuhnya sehingga latihan dan tantangan fisik jadi penting, seperti melempar bola pelan dan keras, berlari cepat dan pelan, juga latihan menyentuh dengan sopan dan lembut. Mengingatkan sebelum bermain, membacakan cerita tentang serunya berteman juga sangat baik dan terus dilanjutkan, ya.
12. Bagaimana kalau anak kita yang sebagai korban kekerasan dari temannya? Cara memberi pengertiannya bagaimana?
Jawab: Pastikan situasinya aman buat anak. Jadi, kalau kekerasan yang berbahaya, harus dicegah dan tidak bisa ditoleransi. Anak harus diangkat dari situasi tersebut. Tapi, kebanyakan situasi adalah konflik biasa. Saat anak jadi “korban”, dia dapat pengalaman belajar mengendalikan emosi dan menghindari situasi. Berlatih mengatakan tidak, stop, aku tidak suka, dan meninggalkan area bermain kalau tidak nyaman. Ini dimulai dari latihan bersama orangtua atau saudara di rumah. Kalau anak masih sulit, dampingi dulu walaupun kita nggak bicara, minta dia yang bicara. Kalau dia sulit memulai, kita yang bilang, “X mau bicara, dengarkan dulu, ya.” Tapi, biarkan dia “memimpin” resolusi konflik dengan temannya. Setelah beberapa kali pengalaman sukses, anak akan makin merasa kompeten.
 

Leave a Reply