oleh Najelaa Shihab
Sebagai ibu, sebagian hari yang kita jalani terasa mudah, sebagian rasanya menantang luar biasa. Kebanyakan dari kita adalah ibu berkarya, bukan hanya yang berkantor dan mendapatkan penghasilan dari luar rumah, ada juga yang menyelesaikan tugas rumah tangga atau sukarela menjadi penggerak di sekolah anak dan lingkungan tetangga. Tidak seharusnya pilihan apapun dianggap lebih atau kurang, karena semua ibu adalah ibu penuh waktu – tidak pernah menanggalkan perannya dan melupakan anaknya di setiap langkah.
Salah satu bagian dari menjadi perempuan adalah apa yang dikatakan orang lain selalu penting, terlebih lagi bila datangnya dari sesama perempuan. Sahabat seperjalanan mestinya saling meringankan tantangan dan menitipkan harapan, dalam kenyataan seolah jadi musuh bebuyutan. Menilai, menghakimi, membatasi, menyalahkan sering jadi bagian interaksi kita. Padahal, tanpa dinilai orang lain pun kita seringkali menetapkan standard terlalu tinggi untuk diri sendiri, tanpa disalahkan kelompok berbeda pun kita kerap berpikir bahwa kita sumber dari semua masalah. Ini bukan sekedar curahan hati, berbagai riset dan data tentang peran gender jelas menunjukkan bahwa perempuan dan ibu punya banyak tantangan dari dalam diri.
Salah satu batasan utama yang kita hadapi dari dalam diri sendiri adalah tuntutan untuk sempurna. Saya merasa luar biasa merdeka saat bisa dengan bangga mengatakan betapa saya tidak sempurna 🙂
Pengalaman gagal mengendalikan emosi menghadapi permintaan anak karena sedang terburu-buru menyelesaikan pekerjaan. Harus membolos dari acara keluarga besar karena kelelahan setelah rentetan agenda mingguan. Melanggar janji untuk lari karena malas bangun pagi. Mengubah ide presentasi yang menyusahkan tim untuk lembur sampai larut malam. Hari ini saja, saya punya sederet pengakuan tentang fakta bahwa saya tidak memiliki segalanya; sebagai perempuan, ibu, istri, anak, teman maupun pimpinan. Tidak sempurna, tidak memiliki segalanya, tapi Alhamdulillah, cukup dan terpenuhi.
Di dunia kita saat ini, perempuan yang berbicara tentang perasaan dan peran selalu dianggap korban atau sebaliknya sedang melawan. Tak heran banyak yang enggan berbagi pengalaman, karena khawatir cibiran atau “ketahuan” tidak seragam. Sebagai ibu dari dua anak perempuan yang beranjak remaja, perempuan yang berkarya bersama ribuan murid dan guru, saya sadar betul bahwa masih banyak tugas kita berkait perempuan dan pendidikan.
Perjuangan setiap ibu dan perempuan adalah belajar mencintai, dimulai dari mencintai diri sendiri dengan lebih baik setiap hari. Mampu menertawakan diri sendiri yang melakukan kesalahan sambil merencanakan perbaikan. Membiasakan bertepuk tangan untuk kesuksesan teman tanpa merasa kalah dalam persaingan. Berbagi canda dan cerita, yang menjadi cermin bermakna untuk semua perempuan.
#SemuaMuridSemuaGuru